Fungsi dan Sifat Pengangkutan Fungsi pengangkutan adalah sangat penting sekali dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam perdagangan, mengingat kegiatan pengangkutan merupakan sarana memindahkan barang dari produsen ke agen atau grosir dan selanjutnya samapi ke konsumen dalam hal angkutan barang.
Sedangkan untuk pengangkuta prnumpang (orang), maka pengangkutan berfungsi untuk memindahkan penumpang dari suatu tempat ke tempat lain yang menjadi tujuan. Dengan jasa pengangkutan barang atau penumpang dapat berpindah-pindah dari tempat asal ke tempat tujuan. Fungsi pengangkutan itu adalah dengan dilakukannya kegiatan pengangkutan itu maka barang atau benda yang diangkut itu akan meningkatkan daya guna maupun nilai ekonomisnya.
Sifat-sifat pengangkutan menurut Pasal 1601 – Pasal 1604 KUHPerdata. Dapat dikemukakan bahwa pemborong merupakan redaksi Pasal 1601 sendiri, pihak pemborong harus menciptakan sesuatu tertentu (een bepaald werks tot stand to brengen) bagi pihak yang memborong (aanbesteder), jadi sebuah benda baru (gedung, jalan kereta api, dan sebagainya) yang tadinya belum ada,kenyataannya sukar dapat dipergunakan pada pengangkutan, sama sekali tidak diperjanjikan perwujudan benda baru, melainkan pengangkut yang baik akan sekeras-kerasnya berusaha supaya benda muatan yang dipercayakan kepadanya secara utuh dan lengkap, tidak berubah atau tidak rusak sampai tempat tujuan.
Pada umumnya hubungan hukum antara pengangkut dengan pihak memakainya itu adalah bermacam-macam yaitu sama tinggi, sama rendah ataukedua belah pihak adalah gecoordineerd. Tidak ada imbangan majikan terhadap buruh atau imbangan gesubordineerd pada hubungan hukum antara pemakai pengangkutan dan pengangkut.
Karena sifat perjanjian pengangkutan adalah sebuah perjanjian untuk melakukan pelayanan berkala (een overeenkomsetot het verrichten van enkelen diensten). Sesuai dengan Pasal 1601 KUHPerdata, dalam bahasan ini sifat pengangkutan memindahkan barang dari tempat yang satu ketempat yang lain dengan mengharapkan upah dari usahanya, dan proses yang dilakukan secara berkala tidak seperti majikan dan pembantu yang secara terus menerus.
Tanggung Jawab Dalam Hukum Pengangkutan
Pengusaha pengangkutan bertanggung jawab atas keselamatan barang, kelambatan datangnya barang, kerusakan dan kehilangan barang yang diangkut dengan demikian posisi pengusaha pengangkutan sama dengan pengangkutan yang dimaksud dalam Pasal 91 KUHD yang berbunyi: “Pengangkut harus menanggung segala kerusakan yang terjadi pada barang-barang angkutan lainnya setelah barang itu mereka terima untuk diangkut, kecuali kerusakan kerusakan yang diakibatkan karena suatu cacat pada barang itu sendiri karena keadaan yang memaksa atau karena kesalahan atau kelupaan si pengirim”.
Tanggung jawab dalam hukum pengangkutan diatur dalam Pasal 1236 KUHPerdata menyatakan : “Pengangkut wajib mengganti biaya, rugi dan bunga yang layak harus diterima bila ia tidak menyerahkan atau tidak merawat sepantasnya untuk menyelamatkan barang-barang angkutan”. Pasal 438 ayat 3 KUHD menyatakan : “Ia bertanggung jawab atas perbuatan dari mereka, yang dikerjakannya dan untuk segala benda yang dipakainya dalam menyelenggarakan pengangkutan tersebut”.
Dalam hukum pengangkutan dikenal tiga prinsip tanggung jawan yaitu : tanggung jawab karena kesalahan, tanggung jawab karena praduga, dan tanggung jawab mutlak.
1. Tanggung Jawab Karena Kesalahan (foult liability)
Menurut prinsip ini, setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dan penyelenggaran pengangkutan harus bertanggung jawab membayarsegala kerugian yang timbul akibat kesalahannya. Pihal yang menderita yang menderita kerugian wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan bukan pada pihak pengangkut. Prinsip ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum sebagai aturan umum. Sedangkan aturan khusus ditentukan dalam undang-undang yang mengatur masing-masing jenis pengangkutan. Pengertian kerugian yang diderita oleh pengguna jasa tidak termasuk keuntungan yang diperoleh ataupun biaya pelayanan yang sudah dinikmati.
2. Tanggung Jawab Karena Praduga (presmption liability)
Menurut prinsip ini, pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari pengangkut yang diselenggarakan. Tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, maka dia dibebaskan dari tanggung jawabmembayar ganti rugi. Yang dimaksud “tidak bersalah” yaitu tidak melakukan kelalaian, telah berupaya melakukan tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian atau peristiwa yang menimbulkan kerugian itu tidak mungkin dihindari.
KUHD juga menganut prinsip tanggung jawab karena praduga. Hal ini dapat dipahami dalam Pasal 468 ayat 2 KUHD yang menentukan bahwa barang yang diangkut itu tidak diserahkan sebagian atau seluruhnya atau rusaknya, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa tidak diserahkan sebagai atau seluruh atau rusaknya barang itu karena peristiwa yang tidak dapat dicegah atau tidak dapat dihindari.
3. Tanggung Jawab Mutlak (absolute liability)
Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian unsur kesalahan tak perlu dipersoalkan. Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu. Prinsip ini dapat dirumuskan dengan kalimat pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena peristiwa apapun dalam menyelenggarakan pengangkutan.
Dalam perundang-undangan mengenai pengangkutan ternyata prinsip tanggung jawab mutlak diatur. Hal ini tidak diatur mungkin karena alasan bahwa pengangkut berusaha di bidang jasa angkutan tidak perlu dibebani dengan resiko yang terlalu berat. Namun tidak berarti bahwa pihak-pihak tidak boleh saja menjanjikan penggunaan prinsip ini untuk kepentingan praktis penyelesaian tanggung jawab, berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Jika prinsip itu digunakan maka di dalam perjanjian pengangkutan harus dinyatakan dengan tegas, misalnya pada dokumen pengangkutan.
Pengusaha angkutan umum bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang, dan pengirim barang karena kelalaiannya dalam melaksanakan pelayanan angkutan (Pasal 45 ayat 1) UULAJR. Dalam pelaksaan angkutan, keselamatan penumpang atau barang yang diangkut pada dasarnya berada dalam tanggung jawab pengusaha angkutan. Dengan demikian, sudah sepatutnya apabila kepada pengusaha angkutan dibebankan tanggung jawab terhadap setiap kerugian yang di derita oleh penumpang atau pengirim barang yang timbul karena pengangkutan yang dilakukannya.
Tanggung jawab pengusaha angkutan umum terhadap pemilik barang(pengirim) dimulai sejak barang diterima untuk diangkut sampai diserahkannya barang kepada pengirim atau penerima (Pasal 46 ayat 3 dan 4 UULAJR). Besarnya ganti rugi adalah sebesar kerugian yang secara nyata ini adalah ketentuan undang-undang yang tidak boleh disimpangi oleh pengangkut melalui ketentuan perjanjian yang menguntungkannya karena ketentuan ini bersifat memaksa (dwingendrecht). Tidak termasuk dalam pengertian kerugian secara nyata diderita dantara lain:
1. Keuntungan yang diharapkan dapat terpenuhi.
2. Biaya atas layanan yang telah dinikmati.
Perjanjian Pengangkutan dan Hak serta Kewajiban Para Pihak
Pada pokok bahasan ini penulis akan menguraikan dua konsep yaitu mengenai perjanjian pengangkutan dan konsep mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam angkutan darat.
1. Perjanjian Pengangkutan
Untuk menyelenggarakan pengangkutan, maka terlebih dahulu ada perjanjian antara pengangkut dan pengirim, perjanjian pengangkutan adalah persetujuan dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang atau barang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan.
Perjanjian pengangkutan selalu digunakan secara lisan tetap didukung oleh dokumen pengangkutan yang membuktikan bahwa perjanjian sudah terjadi. Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu pengirim dan pengangkut sama tinggi, yakni tidak seperti dalam perjanjian perburuhan, dimana para pihak tidak sama tinggi, yakni majikan mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada buruh. Kedudukan para pihak dalam perjanjian perburuhan ini disebut kedudukan subordinasi (gesubordineerd), sedangkan kedudukan para pihak dalam perjanjian pengangkutan adalah sama tinggi atau kedudukan koordinasi(gecoordineerd).
Dalam melaksanakan perjanjian pengangkutan, hubungan kerja anatara pengirim dan pengangkut tidak harus terus menerus, tetapi hanya kadang kala, jika pengirim membutuhkan pengangkutan untuk mengirim barang. Hubungan semacam ini disebut “pelayanan berkala” sebab pelayanan ini tidak bersifat tetap, hanya kadang kala saja, bila pengirim membutuhkan pengangkutan, perjanjian berkala ini diatur dalam Pasal 1601 KUHPerdata.
Dalam undang-undang ditentukan bahwa pengangkut baru diselenggarakan setelah biaya. Angkutan dibayar terlebih dahulu, tetapi disamping ketentuan undang-undang juga berlaku kebiasaan masyarakat yang dapat membayar biaya angkutan, kemudian perjanjian pengangkutan biasanya meliputi kegiatan pengangkutan dalam arti luas yaitu kegiatan memuat, membawa dan menurunkan atau membongkar barang.
Pengangkutan dalam arti luas ini erat hubungannya dengan tanggung jawab pengangkut apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian. Artinya tanggung jawab pengangkut mulai berjalan sejak penumpang atau barang dimuat dalam alat pengangkut sampai barang dibongkar dari alat pengangkut atau kemudian diserahkan kepada penerima.
Tanggung jawab dapat diketahui dari kewajiban yang telah di dalam perjanjian atau undang-undang. Kewajiban pengangkutan adalah menyelenggarakan pengangkutan. Kewajiban ini mengikat sejak penumpang atau pengirim melunasi biaya angkut. Apabila penumpang mengalami kecelakaan ketika naik alat pengangkut atau selama dangkut, atau ketika turun dari alat pengangkut bertanggung jawab membayar segala kerugian yang timbul akibat kecelakaan yang terjadi itu. Demikian juga halnya pada pengangkutan barang, pengangkut bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul akibat peristiwa yang terjadi dalam proses pengangkutan sejak pemuatan sampai pembongkaran barang ditempat tujuan. Beda dengan barang bawaan yang barang bawaan tersebut dapat diberikan ganti kerugiannya apabila terjadi masalah. Tetapi tanggung jawab pengangkut ini dibatasi oleh undang-undang.
Dalam undang-undang ditentukan bahwa pengangkut bertanggung jawab terhadap segala kerugian yang timbul akibat kesalahan, kecuali :
a. Keadaan memaksa (force majeur)
b. Cacat barang itu sendiri
c. Kesalahan dan kelalaian pengirim atau pemilik barang.
Menurut Purwostjipto perjanjian pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim. Dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pihak pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.
Menurut R. Soekardono, bahwa perjanjian pengangkutan adalahsebuah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan ke tempat tujuan tertentu, pihak lainnya (pengirim) berkewajiban untuk membayar biaya tertentu untuk pengangkutan.
Kemudian ada kelompok yang menyatakan bahwa perjanjian pengangkutan suatu perjanjian untuk melakukan pekerjaan. Purwosutjipto berpendapat bahwa perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian campuran, karena mempunyai unsur:
a. Pelayanan berkala (Pasal 1601 KUHPer)
b. Unsur penyimpanan, adanya penetapan dalam Pasal 468 ayat 1 KUHD
c. Unsur pemberian kuasa terdapat dalam Pasal 371 ayat 1 KUHD.
2. Hak dan Kewajiban Para Pihak
Dalam setiap perjanjian, sudah tentu harus ada pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu. Karena tanpa adanya pihak-pihak tersebut maka perjanjian pengangkutan, apabila tidak ada pihak yang mengadakan perjanjian maka perjajian pengangkutan tidak akan lahir. Sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwa perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim barang, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan sebagaimana yang telah diperjanjikan sebelumnya.
Dari pengertian diatas, dapat diketahui bahwa pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan adalah “pengangkut dan pengirim”. Pengangkut adalah orang yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan. Sedangkan pengirim adalah orang yang mengikatkan
dirinya untuk membayar uang angkutan sebagai imbaan jasa yang dilakukan
pihak.
Dalam perjanjian pengangkutan ini adakalnya penerima bertindak sebagai pihak ketiga yang berkepentingan untuk itu, misalnya seseorang yang mau pindah ketempat lain maka yang bersangkutan perlu mengadakan perjanjian pengangkutan dengan pihak yang berkecimpung di dalam bidang pengangkutan untuk mengangkut barang-barang ke tempat yang dituju.
Disini pemilik barang tersebut selain bertindak sebagai penerima, juga bertindak sebagai pengirim. Sedangkan kewajiban si pengirim barang adalah membayar uang angkutan sebesar yang telah diperjanjikan dalam surat muatan. Dan pembayar uang angkutan ini juga dapat dilakukan oleh si penerima apabila belum dibayar oleh si pengirim. Ini dapat di ketahui si penerima dalam surat muatan yang diterimanya, karena dalam surat muatan dicantumkan apakah uang angkutan sudah dibayar atau belum. Jika uang angkutan belum dibayar maka penerima berkewajiban untuk membayarnya sebagaimana yang ditentukan dalam surat muatan.
Jadi dalam hal ini pihak penerima dapat menjadi pihak yang berkepentingan dalam perjanjian pengangkutan setelah ia menyatakan kehendaknya untuk menerima barang dan si penerima barang tersebut berkewajiban untuk membayar uang angkutan barang itu.
Dalam KUHD juga diatur mengenai hak dan kewajiban serta tanggung jawab dari pada pengangkut atau penyelenggara. Hak pengangkut atau penyelenggara pengangkutan yang ada dalam KUHD adalah:
1. Mendapatkan pembayaran atas prestasi yang dilakukan.
2. Pengangkut berhak atas suatu penggantian kerugian yang dideritakan karenakan surat menyurat yang diperlukan untuk pengangkut tersebut tidak diserahkan kepadanya sebagaimana mestinya.(Pasal 478 ayat 1 KUHD).
3. Pengangkut berhak menerima penggantian kerugian yang dideritanya karena pengiriman telah memberikan keterangan yang salah atau tidak lengkapnya tentang macam dan sifatnya barang tersebut, kecuali ia tahu sepatutnya mengetahui akan sifat dan macam-macam barang tersebut (Pasal 479 ayat 1 KUHD).
Selain adanya hak pada si pengangkut atau penyelenggara, pengangkut juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang diatur dalam KUHD. Dimana kewajiban dan tanggung jawab pengangkut atau penyelenggaraan pengangkutan itu adalah:
1. Pengangkut wajib menjaga keselamatan barang yang diangkutnya mulai saat diterimanya hingga diserahkannya barang tersebut. (Pasal 468 ayat 1 KUHD).
2. Pengangkut wajib mengganti kerugian yang disebabkan karena barang barang tersebut seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkan dan barang tersebut rusak kecuali apabila si pengangkut dapat membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang atau kerusakan tersebut disebabkan oleh suatu malapetaka yang tidak dapat dicegah ataupun dihindarkan atau memang cacat tersebut adalah bawaan dari barang itu atau karena kesalahan dari si pengirim. (Pasal 468 ayat 2 KUHD).
3. Pengangkut wajib bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan karena keterlambatan penyerahan barang yang dikirimkan kecuali apabila si pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan malapetaka yang tidak dapat dicegah ataupun dihindarkan. (Pasal 447 KUHD).