Senin, 12 Juni 2023

Hukum Dagang : pengertian, sejarah, sumber hukum, dan ruang lingkupnya






Pengertian Hukum Dagang
    Hukum Dagang adalah cabang hukum yang mengatur aktivitas bisnis dan perdagangan antara individu, perusahaan, dan entitas bisnis lainnya. Hukum ini mencakup peraturan yang mengatur pembentukan perusahaan, kontrak bisnis, transaksi jual beli, pembiayaan bisnis, perlindungan konsumen, kepailitan, dan regulasi pasar dan persaingan usaha.

Sejarah Hukum Dagang
    Sejarah hukum dagang dapat ditelusuri kembali ke masa kuno ketika masyarakat mulai melakukan kegiatan perdagangan. Hukum dagang telah ada sejak zaman Babilonia kuno, Mesir, Yunani, dan Romawi. Di Eropa, perkembangan perdagangan di masa Renaisans dan era penjelajahan juga mempengaruhi perkembangan hukum dagang.
    Perkembangan hukum dagang modern banyak dipengaruhi oleh revolusi industri pada abad ke-18 dan ke-19. Pertumbuhan perdagangan global dan industri yang semakin kompleks memerlukan regulasi hukum yang lebih rinci. Hal ini mengarah pada perkembangan hukum dagang modern yang mengatur kegiatan bisnis di tingkat nasional dan internasional.

Sumber Hukum Dagang
Sumber hukum dagang dapat bervariasi tergantung pada yurisdiksi hukum negara tertentu. Beberapa sumber hukum dagang umum meliputi:

  1. Undang-Undang dan Peraturan: Hukum dagang biasanya didasarkan pada undang-undang dan peraturan yang dikeluarkan oleh badan legislatif dan otoritas pemerintah terkait. Undang-undang dagang mengatur aspek-aspek seperti pendirian perusahaan, kontrak, persaingan usaha, perlindungan konsumen, dan lain-lain.
  2. Putusan Pengadilan: Putusan pengadilan dalam sengketa bisnis dan perdagangan menjadi sumber penting dalam pengembangan hukum dagang. Putusan pengadilan menciptakan preseden hukum yang dapat dijadikan acuan dalam kasus serupa di masa depan.
  3. Doktrin Hukum: Pendapat para sarjana hukum, ahli akademik, dan pakar hukum dalam bidang hukum dagang juga menjadi sumber penting. Mereka memberikan interpretasi, analisis, dan pendapat tentang aspek-aspek hukum dagang tertentu.

Ruang Lingkup Hukum Dagang
Ruang lingkup hukum dagang meliputi berbagai aspek bisnis dan perdagangan, antara lain:

  1. Pembentukan Perusahaan: Hukum dagang mengatur pembentukan, struktur, dan operasional perusahaan, termasuk perusahaan perseorangan, perusahaan persekutuan, dan perusahaan terbatas.
  2. Kontrak Bisnis: Hukum dagang mengatur pembentukan, penafsiran, dan pelaksanaan kontrak bisnis. Ini mencakup berbagai jenis kontrak, seperti kontrak penjualan, kontrak jasa, kontrak sewa, dan lain-lain.
  3. Transaksi Jual Beli: Hukum dagang mengatur transaksi jual beli barang dan jasa, termasuk transfer kepemilikan, pembayaran, pengiriman, dan pemenuhan kewajiban.
  4. Perlindungan Konsumen: Hukum dagang memiliki peraturan yang melindungi konsumen dari praktik bisnis yang tidak adil atau menipu. Ini termasuk persyaratan label produk, praktik pemasaran yang jujur, dan penyelesaian sengketa konsumen.
  5. Pembiayaan Bisnis: Hukum dagang mencakup peraturan tentang pembiayaan bisnis, seperti kredit, hipotek, jaminan, dan transaksi keuangan lainnya.
  6. Kepailitan: Hukum dagang memiliki ketentuan tentang kepailitan dan reorganisasi bisnis ketika perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Ini mencakup prosedur kepailitan, likuidasi aset, dan pembayaran hutang kepada kreditor.
  7. Regulasi Pasar dan Persaingan Usaha: Hukum dagang juga mengatur regulasi pasar dan persaingan usaha untuk mencegah praktik monopoli, kartel, dan praktik bisnis yang merugikan persaingan sehat.

Minggu, 11 Juni 2023

Hukum Internasional


    Hukum internasional adalah sistem aturan dan prinsip yang mengatur hubungan antara negara-negara di tingkat global. Ini adalah cabang hukum yang mempertimbangkan hak dan kewajiban negara-negara dalam interaksi mereka di berbagai bidang, termasuk perdagangan, keamanan, lingkungan, hak asasi manusia, perjanjian, konflik bersenjata, dan lainnya

    Prinsip utama dalam hukum internasional adalah kedaulatan negara. Ini berarti bahwa setiap negara memiliki hak untuk mengatur urusannya sendiri tanpa campur tangan dari negara lain. Namun, dalam praktiknya, ada ketergantungan dan interaksi antara negara-negara yang memerlukan kerja sama dan pemahaman bersama.

    Hukum internasional terdiri dari sumber-sumber yang berbeda. Sumber primer adalah perjanjian internasional, yang dapat berupa traktat, perjanjian, atau konvensi yang ditandatangani oleh negara-negara dan mengikat mereka. Contohnya adalah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang merupakan dasar hukum internasional utama.

    Sumber lainnya termasuk kebiasaan internasional, yaitu praktik yang diterima oleh negara-negara dan dianggap sebagai hukum yang berlaku. Putusan pengadilan internasional juga menjadi sumber hukum internasional, di mana pengadilan internasional, seperti Mahkamah Internasional, memberikan putusan yang mengikat negara-negara.

    Hukum internasional juga mencakup prinsip-prinsip umum, seperti larangan penggunaan kekuatan secara ilegal, prinsip non-intervensi, perlindungan hak asasi manusia, dan penyelesaian damai sengketa antara negara-negara. Salah satu aspek penting dalam hukum internasional adalah penyelesaian sengketa. Ada berbagai metode penyelesaian sengketa, termasuk negosiasi, mediasi, arbitrase, dan pengadilan internasional. Tujuan utama penyelesaian sengketa adalah untuk mencapai perdamaian dan keadilan antara negara-negara yang terlibat.

    Hukum internasional juga berkaitan dengan organisasi internasional, seperti PBB, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan organisasi regional lainnya. Organisasi-organisasi ini berperan dalam mempromosikan kerja sama, perdamaian, dan keamanan antara negara-negara, serta melaksanakan prinsip-prinsip dan perjanjian hukum internasional.

    Dalam era globalisasi, hukum internasional semakin penting dalam menjaga hubungan antara negara-negara dan menangani tantangan global seperti perubahan iklim, perdagangan internasional, migrasi, dan kejahatan lintas batas. Hukum internasional berfungsi sebagai kerangka kerja yang memfasilitasi kerja sama, mengatur perilaku negara-negara, dan menjaga perdamaian dan keadilan di tingkat internasional.

Jumat, 09 Juni 2023

Sistem Pemilu



    Sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup adalah dua metode yang digunakan dalam pemilihan umum untuk menentukan alokasi kursi parlemen atau badan legislatif berdasarkan perolehan suara partai politik. Keduanya memiliki perbedaan dalam hal mekanisme pemilihan dan transparansi dalam penentuan calon terpilih. Berikut adalah penjelasan mengenai kedua sistem tersebut:

  1. Sistem Pemilu Proporsional Tertutup:
    Sistem pemilu proporsional tertutup adalah metode di mana pemilih memilih partai politik, dan partai politik yang mendapatkan suara akan menentukan urutan calon yang akan menduduki kursi parlemen. Dalam sistem ini, partai politik menentukan daftar calon dalam urutan tertentu sebelum pemilihan, dan urutan ini tetap tidak berubah berdasarkan preferensi pemilih. Partai politik memiliki kontrol penuh atas urutan calon yang akan menduduki kursi parlemen berdasarkan perolehan suara yang diperoleh partai tersebut.

Keuntungan dari sistem pemilu proporsional tertutup adalah stabilitas dan kepastian bagi partai politik. Partai politik dapat merencanakan komposisi anggota parlemen mereka dan memiliki kontrol atas calon yang akan mewakili partai tersebut. Namun, sistem ini juga memiliki kelemahan dalam hal kurangnya transparansi dalam penentuan calon terpilih. Pemilih tidak memiliki pengaruh langsung dalam memilih calon yang akan mewakili partai politik tertentu.

  1. Sistem Pemilu Proporsional Terbuka:
    Sistem pemilu proporsional terbuka adalah metode di mana pemilih memilih baik partai politik maupun calon dari partai tersebut. Dalam sistem ini, pemilih memiliki kebebasan untuk memilih partai politik dan juga calon yang mereka pilih. Setelah pemilihan, alokasi kursi parlemen dilakukan berdasarkan perolehan suara partai politik. Calon yang mendapatkan suara tertinggi dalam partai politik tersebut akan menduduki kursi parlemen.

Keuntungan dari sistem pemilu proporsional terbuka adalah bahwa pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon spesifik yang mereka inginkan. Hal ini meningkatkan keterhubungan antara pemilih dan perwakilan yang terpilih. Sistem ini juga lebih transparan karena calon yang terpilih tergantung pada dukungan langsung dari pemilih. Namun, sistem ini juga dapat menghasilkan fragmentasi suara, di mana perolehan suara partai politik tertentu terpecah-belah di antara calon-calonnya.

Kedua sistem ini memiliki implikasi yang berbeda dalam konteks perwakilan politik. Sistem pemilu proporsional tertutup memberikan partai politik kontrol penuh dalam penentuan calon terpilih, sementara sistem pemilu proporsional terbuka memberikan pemilih lebih banyak kebebasan dalam memilih calon. Pemilihan sistem pemilu yang tepat harus mempertimbangkan kebutuhan dan konteks politik dari suatu negara, serta memperhatikan aspek-aspek seperti stabilitas politik, keterwakilan yang adil, dan partisipasi publik.


Rabu, 07 Juni 2023

Fungsi dan Sifat Pengangkutan




Fungsi dan Sifat Pengangkutan

    Fungsi pengangkutan adalah sangat penting sekali dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam perdagangan, mengingat kegiatan pengangkutan merupakan sarana memindahkan barang dari produsen ke agen atau grosir dan selanjutnya samapi ke konsumen dalam hal angkutan barang. 
    Sedangkan untuk pengangkuta prnumpang (orang), maka pengangkutan berfungsi untuk memindahkan penumpang dari suatu tempat ke tempat lain yang menjadi tujuan. Dengan jasa pengangkutan barang atau penumpang dapat berpindah-pindah dari tempat asal ke tempat tujuan. Fungsi pengangkutan itu adalah dengan dilakukannya kegiatan pengangkutan itu maka barang atau benda yang diangkut itu akan meningkatkan daya guna maupun nilai ekonomisnya. 
    Sifat-sifat pengangkutan menurut Pasal 1601 – Pasal 1604 KUHPerdata. Dapat dikemukakan bahwa pemborong merupakan redaksi Pasal 1601 sendiri, pihak pemborong harus menciptakan sesuatu tertentu (een bepaald werks tot stand to brengen) bagi pihak yang memborong (aanbesteder), jadi sebuah benda baru (gedung, jalan kereta api, dan sebagainya) yang tadinya belum ada,kenyataannya sukar dapat  dipergunakan pada pengangkutan, sama sekali tidak diperjanjikan perwujudan benda baru, melainkan pengangkut yang baik akan sekeras-kerasnya berusaha supaya benda muatan yang dipercayakan kepadanya secara utuh dan lengkap, tidak berubah atau tidak rusak sampai tempat tujuan.
    Pada umumnya hubungan hukum antara pengangkut dengan pihak memakainya itu adalah bermacam-macam yaitu sama tinggi, sama rendah ataukedua belah pihak adalah gecoordineerd. Tidak  ada imbangan majikan terhadap buruh atau imbangan gesubordineerd pada hubungan hukum antara pemakai pengangkutan dan pengangkut.
    Karena sifat perjanjian pengangkutan adalah sebuah perjanjian untuk melakukan pelayanan berkala (een overeenkomsetot het verrichten van enkelen diensten). Sesuai dengan Pasal 1601 KUHPerdata, dalam bahasan ini sifat pengangkutan memindahkan barang dari tempat yang satu ketempat yang lain dengan mengharapkan upah dari usahanya, dan proses yang dilakukan secara berkala tidak seperti majikan dan pembantu yang secara terus menerus.

Tanggung Jawab Dalam Hukum Pengangkutan
    Pengusaha pengangkutan bertanggung jawab atas keselamatan barang, kelambatan datangnya barang, kerusakan dan kehilangan barang yang diangkut dengan demikian posisi pengusaha pengangkutan sama dengan pengangkutan yang dimaksud dalam Pasal 91 KUHD yang berbunyi: “Pengangkut harus menanggung segala kerusakan yang terjadi pada barang-barang angkutan lainnya setelah barang itu mereka terima untuk diangkut, kecuali kerusakan kerusakan yang diakibatkan karena suatu cacat pada barang itu sendiri karena keadaan yang memaksa atau karena kesalahan atau kelupaan si pengirim”.
    Tanggung jawab dalam hukum pengangkutan diatur dalam Pasal 1236 KUHPerdata menyatakan : “Pengangkut wajib mengganti biaya, rugi dan bunga yang layak harus diterima bila ia tidak menyerahkan atau tidak merawat sepantasnya untuk menyelamatkan barang-barang angkutan”. Pasal 438 ayat 3 KUHD menyatakan : “Ia bertanggung jawab atas perbuatan dari mereka, yang dikerjakannya dan untuk segala benda yang dipakainya dalam menyelenggarakan pengangkutan tersebut”.
Dalam hukum pengangkutan dikenal tiga prinsip tanggung jawan yaitu : tanggung jawab karena kesalahan, tanggung jawab karena praduga, dan tanggung jawab mutlak.
1. Tanggung Jawab Karena Kesalahan (foult liability)
    Menurut prinsip ini, setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dan penyelenggaran pengangkutan harus bertanggung jawab membayarsegala kerugian yang timbul akibat kesalahannya. Pihal yang menderita yang menderita kerugian wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan bukan pada pihak pengangkut. Prinsip ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum sebagai aturan umum. Sedangkan aturan khusus ditentukan dalam undang-undang yang mengatur masing-masing jenis pengangkutan. Pengertian kerugian yang diderita oleh pengguna jasa tidak termasuk keuntungan yang diperoleh ataupun biaya pelayanan yang sudah dinikmati.
2. Tanggung Jawab Karena Praduga (presmption liability)
    Menurut prinsip ini, pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari pengangkut yang diselenggarakan. Tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, maka dia dibebaskan dari tanggung jawabmembayar ganti rugi. Yang dimaksud “tidak bersalah” yaitu tidak melakukan kelalaian, telah berupaya melakukan tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian atau peristiwa yang menimbulkan kerugian itu tidak mungkin dihindari.
    KUHD juga menganut prinsip tanggung jawab karena praduga. Hal ini dapat dipahami dalam Pasal 468 ayat 2 KUHD yang menentukan bahwa barang yang diangkut itu tidak diserahkan sebagian atau seluruhnya atau rusaknya, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa tidak diserahkan sebagai atau seluruh atau rusaknya barang itu karena peristiwa yang tidak dapat dicegah atau tidak dapat dihindari.
3. Tanggung Jawab Mutlak (absolute liability)
    Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian unsur kesalahan tak perlu dipersoalkan. Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu. Prinsip ini dapat dirumuskan dengan kalimat pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena peristiwa apapun dalam menyelenggarakan pengangkutan.
    Dalam perundang-undangan mengenai pengangkutan ternyata prinsip tanggung jawab mutlak diatur. Hal ini tidak diatur mungkin karena alasan bahwa pengangkut berusaha di bidang jasa angkutan tidak perlu dibebani dengan resiko yang terlalu berat. Namun tidak berarti bahwa pihak-pihak tidak boleh saja menjanjikan penggunaan prinsip ini untuk kepentingan praktis penyelesaian tanggung jawab, berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Jika prinsip itu digunakan maka di dalam perjanjian pengangkutan harus dinyatakan dengan tegas, misalnya pada dokumen pengangkutan. 
    Pengusaha angkutan umum bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang, dan pengirim barang karena kelalaiannya dalam melaksanakan pelayanan angkutan (Pasal 45 ayat 1) UULAJR. Dalam pelaksaan angkutan, keselamatan penumpang atau barang yang diangkut pada dasarnya berada dalam tanggung jawab pengusaha angkutan. Dengan demikian, sudah sepatutnya apabila kepada pengusaha angkutan dibebankan tanggung jawab terhadap setiap kerugian yang di derita oleh penumpang atau pengirim barang yang timbul karena pengangkutan yang dilakukannya.
    Tanggung jawab pengusaha angkutan umum terhadap pemilik barang(pengirim) dimulai sejak barang diterima untuk diangkut sampai diserahkannya barang kepada pengirim atau penerima (Pasal 46 ayat 3 dan 4 UULAJR). Besarnya ganti rugi adalah sebesar kerugian yang secara nyata ini adalah ketentuan undang-undang yang tidak boleh disimpangi oleh pengangkut melalui ketentuan perjanjian yang menguntungkannya karena ketentuan ini bersifat memaksa (dwingendrecht). Tidak termasuk dalam pengertian kerugian secara nyata diderita dantara lain:
1. Keuntungan yang diharapkan dapat terpenuhi.
2. Biaya atas layanan yang telah dinikmati.

Perjanjian Pengangkutan dan Hak serta Kewajiban Para Pihak
Pada pokok bahasan ini penulis akan menguraikan dua konsep yaitu mengenai perjanjian pengangkutan dan konsep mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam angkutan darat.
1. Perjanjian Pengangkutan
    Untuk menyelenggarakan pengangkutan, maka terlebih dahulu ada perjanjian antara pengangkut dan pengirim, perjanjian pengangkutan adalah persetujuan dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang atau barang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan.
    Perjanjian pengangkutan selalu digunakan secara lisan tetap didukung oleh dokumen pengangkutan yang membuktikan bahwa perjanjian sudah terjadi. Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu pengirim dan pengangkut sama tinggi, yakni tidak seperti dalam perjanjian perburuhan, dimana para pihak tidak sama tinggi, yakni majikan mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada buruh. Kedudukan para pihak dalam perjanjian perburuhan ini disebut kedudukan subordinasi (gesubordineerd), sedangkan kedudukan para pihak dalam perjanjian pengangkutan adalah sama tinggi atau kedudukan koordinasi(gecoordineerd).
    Dalam melaksanakan perjanjian pengangkutan, hubungan kerja anatara pengirim dan pengangkut tidak harus terus menerus, tetapi hanya kadang kala, jika pengirim membutuhkan pengangkutan untuk mengirim barang. Hubungan semacam ini disebut “pelayanan berkala” sebab pelayanan ini tidak bersifat tetap, hanya kadang kala saja, bila pengirim membutuhkan pengangkutan, perjanjian berkala ini diatur dalam Pasal 1601 KUHPerdata.
    Dalam undang-undang ditentukan bahwa pengangkut baru diselenggarakan setelah biaya. Angkutan dibayar terlebih dahulu, tetapi disamping ketentuan undang-undang juga berlaku kebiasaan masyarakat yang dapat membayar biaya angkutan, kemudian perjanjian pengangkutan biasanya meliputi kegiatan pengangkutan dalam arti luas yaitu kegiatan memuat, membawa dan menurunkan atau membongkar barang.
    Pengangkutan dalam arti luas ini erat hubungannya dengan tanggung jawab pengangkut apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian. Artinya tanggung jawab pengangkut mulai berjalan sejak penumpang atau barang dimuat dalam alat pengangkut sampai barang dibongkar dari alat pengangkut atau kemudian diserahkan kepada penerima.
    Tanggung jawab dapat diketahui dari kewajiban yang telah di dalam perjanjian atau undang-undang. Kewajiban pengangkutan adalah menyelenggarakan pengangkutan. Kewajiban ini mengikat sejak penumpang atau pengirim melunasi biaya angkut. Apabila  penumpang mengalami kecelakaan ketika naik alat pengangkut atau selama dangkut, atau ketika turun dari alat pengangkut bertanggung jawab membayar segala kerugian yang timbul akibat kecelakaan yang terjadi itu. Demikian juga halnya pada pengangkutan barang, pengangkut bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul akibat peristiwa yang terjadi dalam proses pengangkutan sejak pemuatan sampai pembongkaran barang ditempat tujuan. Beda dengan barang bawaan yang barang bawaan tersebut dapat diberikan ganti kerugiannya apabila terjadi masalah. Tetapi tanggung jawab pengangkut ini dibatasi oleh undang-undang.
    Dalam undang-undang ditentukan bahwa pengangkut bertanggung jawab terhadap segala kerugian yang timbul akibat kesalahan, kecuali :
a. Keadaan memaksa (force majeur)
b. Cacat barang itu sendiri
c. Kesalahan dan kelalaian pengirim atau pemilik barang.
    Menurut Purwostjipto perjanjian pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim. Dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pihak pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.
    Menurut R. Soekardono, bahwa perjanjian pengangkutan adalahsebuah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan ke tempat tujuan tertentu, pihak lainnya (pengirim) berkewajiban untuk membayar biaya tertentu untuk pengangkutan.
    Kemudian ada kelompok yang menyatakan bahwa perjanjian pengangkutan suatu perjanjian untuk melakukan pekerjaan. Purwosutjipto berpendapat bahwa perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian campuran, karena mempunyai unsur:
a. Pelayanan berkala (Pasal 1601 KUHPer)
b. Unsur penyimpanan, adanya penetapan dalam Pasal 468 ayat 1 KUHD
c. Unsur pemberian kuasa terdapat dalam Pasal 371 ayat 1 KUHD.

2. Hak dan Kewajiban Para Pihak
    Dalam setiap perjanjian, sudah tentu harus ada pihak-pihak yang  mengadakan perjanjian itu. Karena tanpa adanya pihak-pihak tersebut maka perjanjian pengangkutan, apabila tidak ada pihak yang mengadakan perjanjian maka perjajian pengangkutan tidak akan lahir. Sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwa perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim barang, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan sebagaimana yang telah diperjanjikan sebelumnya.
    Dari pengertian diatas, dapat diketahui bahwa pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan adalah “pengangkut dan pengirim”. Pengangkut adalah orang yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan. Sedangkan pengirim adalah orang yang mengikatkan
dirinya untuk membayar uang angkutan sebagai imbaan jasa yang dilakukan
pihak.
    Dalam perjanjian pengangkutan ini adakalnya penerima bertindak sebagai pihak ketiga yang berkepentingan untuk itu, misalnya seseorang yang mau pindah ketempat lain maka yang bersangkutan perlu mengadakan perjanjian pengangkutan dengan pihak yang berkecimpung di dalam bidang pengangkutan untuk mengangkut barang-barang ke tempat yang dituju.
    Disini pemilik barang tersebut selain bertindak sebagai penerima, juga bertindak sebagai pengirim. Sedangkan kewajiban si pengirim barang adalah membayar uang angkutan sebesar yang telah diperjanjikan dalam surat muatan. Dan pembayar uang angkutan ini juga dapat dilakukan oleh si penerima apabila belum dibayar oleh si pengirim. Ini dapat di ketahui si penerima dalam surat muatan yang diterimanya, karena dalam surat muatan dicantumkan apakah uang angkutan sudah dibayar atau belum. Jika uang angkutan belum dibayar maka penerima berkewajiban untuk membayarnya sebagaimana yang ditentukan dalam surat muatan.
    Jadi dalam hal ini pihak penerima dapat menjadi pihak yang berkepentingan dalam perjanjian pengangkutan setelah ia menyatakan kehendaknya untuk menerima barang dan si penerima barang tersebut berkewajiban untuk membayar uang angkutan barang itu.
Dalam KUHD juga diatur mengenai hak dan kewajiban serta tanggung jawab dari pada pengangkut atau penyelenggara. Hak pengangkut atau penyelenggara pengangkutan yang ada dalam KUHD adalah:
1. Mendapatkan pembayaran atas prestasi yang dilakukan.
2. Pengangkut berhak atas suatu penggantian kerugian yang dideritakan karenakan surat menyurat yang diperlukan untuk pengangkut tersebut tidak diserahkan kepadanya sebagaimana mestinya.(Pasal 478 ayat 1 KUHD).
3. Pengangkut berhak menerima penggantian kerugian yang dideritanya karena pengiriman telah memberikan keterangan yang salah atau tidak lengkapnya tentang macam dan sifatnya barang tersebut, kecuali ia tahu sepatutnya mengetahui akan sifat dan macam-macam barang tersebut (Pasal 479 ayat 1 KUHD).
    Selain adanya hak pada si pengangkut atau penyelenggara, pengangkut juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang diatur dalam KUHD. Dimana kewajiban dan tanggung jawab pengangkut atau penyelenggaraan pengangkutan itu adalah:
1. Pengangkut wajib menjaga keselamatan barang yang diangkutnya mulai saat diterimanya hingga diserahkannya barang tersebut. (Pasal 468 ayat 1 KUHD).
2. Pengangkut wajib mengganti kerugian yang disebabkan karena barang barang tersebut seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkan dan barang tersebut rusak kecuali apabila si pengangkut dapat membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang atau kerusakan tersebut disebabkan oleh suatu malapetaka yang tidak dapat dicegah ataupun dihindarkan atau memang cacat tersebut adalah bawaan dari barang itu atau karena kesalahan dari si pengirim. (Pasal 468 ayat 2 KUHD).
3. Pengangkut wajib bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan karena keterlambatan penyerahan barang yang dikirimkan kecuali apabila si pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan malapetaka yang tidak dapat dicegah ataupun dihindarkan. (Pasal 447 KUHD).

Hukum Dagang : pengertian, sejarah, sumber hukum, dan ruang lingkupnya

Pengertian Hukum Dagang      Hukum Dagang adalah cabang hukum yang mengatur aktivitas bisnis dan perdagangan antara individu, perusahaan, d...